MAKALAH TENTANG IJTIHAD
BAB I
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim,
Alhamdulillah, bahwa hanya dengan petunjuk
dan hidayah-Nya makalah ini dapat terselesaikan dan sampai dihadapan para
pembaca yang berbahagia. Semoga kiranya memberikan manfaat bagi penulis pada
khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Pada era globalisasi dan informasi saat
ini, yang ditandai semakin menipis dan hilangnya batas pemisah antara
nilai-nilai dan lingkungan budaya bangsa, yang diikuti dengan kecendrungan
bentuk nilai budaya yang bersifat universal, tanpaknya studi tentang ijtihad
ini sangan urgen sekali dalam kehidupan kita saat ini, baik dalam kalangan
Islam sendiri maupun diluar islam pada umumnya.
Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri,
bahwa nilai-nilai dan system budaya yang ada dilingkungan umat Islam telah
kehilangan daya dinamikanya dan menjadi mandek, sehingga tidak mampu mewujudkan
peran dan fungsinya sebagai rahmatan lil’alamin.
Sebagaimana pepatah megatakan tiada gading
yang tak retak, maka makalah ini pun tentunya tiada terbebas dari kekurangan
dan kelemahan didalamnya. Namun penulis berusaha untuk meminimalkannya. Untuk
itu penulis minta maaf yang sebesar-besarnya dan mengharap tegur sapa serta
saran-saran penyempurnaan, agar kelemahandan kekurangan yang ada tidak sampai
mengurangi nilai dan manfaatnya bagi perkembangan Islam pada umumnya, Amin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Kata Ijtihad secara etimologi
berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik maupun pikiran.
Seperti dikemukakan Imam Ghazali, biasanya tidak digunakan kecuali pada hal
yang mengandung kesulitan. Oleh karena itu, tidak di sebut berijtihad jika
hanya mengangkat hal-hal yang ringan, seperti mangangkat sebiji sawi.
Menurut Abu Zahrah yang
dimaksud dengan ijtihad adalah “mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal,
baik untuk meng-istinbat-kan hukum syara’, maupun dalam penerapannya”. Dari
definisi ini, ijtihad terbagi kepada dua macam, yaitu ijtihad untuk membentuk
atau meng-istinbat-kan hukum dari dalilnya dan ijtihad untuk menerapkannya.
Menurut Abu Zahrah, ijtihad bentuk pertama itu unntuk meng-istinbat-kan hukum
dari dalilnya. Menurut jumhur ulama’ Ushul Fiqh, pada masa tertentu mungkin
terjadi kevakuman dari ijtihad seperti ini bilamana hasil ijtihad di masa
lampau masih dianggap cukup untuk menjawab masalah-masalah yang muncul di
kalangan umat Islam. Menurut kalangan hanabila, tidak ada satu masa yang boleh
kosong dari kegiatan ijtihad seperti ini karena selalu banyak masalah-masalah
baru yang harus dijawab.
B. URGENSI DAN KEDUDUKAN IJTIHAD
Setiap muslim pada dasarnya
diharuskan untuk berijtihad pada semua bidang hukum dan syari’ah, asalkan dia
mempunyai kriteria dan syarat sebagai seorang mujtahid. Para ulama’ membagi
hukum untuk melakukan ijtihad dengan tiga bagian, yaitu :
1.
Wajib ain, yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa
hukum mengenai suatu peristiwa yang terjadi, dan ia khawatir
peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian hukumnya, atau dia sendiri mengalami
peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2.
Wajib Kifayah, yaitu bagi mereka yang dimintai
fatwa hukum mengenai suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan lenyap peristiwa
itu, sedang selain dia masih terdapat mujtahid-mujtahis lainnya. Maka apabila
kesemua mujtiahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad, maka mereka berdosa
semua.
3.
Sunnah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai
masalah-masalah yang belum atau tidak terjadi. Abu Bakar al-Baqilani menyatakan
bahwa setiap ijtihad harus diorientasikan kepada tajdid (pembaruan) karena
setiap periode memiliki ciri sendiri sehingga menentukan perubahan hukum.
Sedang Abd. Al-Syakur dalam “Muslimat al-Tsubut” mengharuskan ijtihad selalu
mengacu pada perubahan dan pembaruan yang bertujuan mencari kebenaran.
C. FUNGSI IJTIHAD
Imam Syafi’i ra. (150 H – 204
H), penyusun pertama Ushul Fiqh, dalam bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan
kesmepurnaan Al-Qur’an menegasakan : ”Maka tidak terjadi suatu peristiwapun
pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk
tentang hukumnya”.
Pernyataan Imam Syafi’i
diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad di samping Al-Qur’an
dan Sunnah Rosulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat
hadits yang tidak sampai ke tingkat Hadits Mutawatir seprti hadits ahad, atau
sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya
sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi
untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
Sunnah seperi dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah. Hal yang disebut
terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam al-Qur’an dan
Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang
sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan ang tidak
terbatas jumlahnya.
D. SYARAT-SYARAT SEORANG MUJTAHID
Ada beberapa syarat dan
ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid yaitu diantaranya :
1.
Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh
ayat-ayat hukum dalam al-qur’an baik secara bahasa maupun menurut istilah
syari’at. Tidak perlu menghafal diluar kepala dan tidak perlu pula seluruh
al-qur’an. Seorang mujtahid cukuo mengetahui tempat-tempat di mana ayat hukum
itu berada sehingga mudah baginya menemukan waktu yang dibutuhkan.
Menurut Imam Al-Ghazali,
jumlah ayat-ayat hukum yang perlu dikuasai itu sekitar 500 ayat. Namun
pembatasan jumlah ayat-ayat yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali sebagian
ulama’ tidak menyepakati. Al-Syaukani (w. 1255 H) umpamanya menyebutkan bahwa
ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an berlipat ganda dari jumlah yang disebutkan oleh
Imam Al-Ghazali itu.
2.
Mengetahui tentang hadis-hadis hukum baik secara
bahasa maupun penmakaian syara’, seperti yang telah diuaraikan pada syarat
pertama. Seperti halnya Al-Qur’an, maka dalam mascalah hadis juga tidak mesti
di hafal seluruh hadis yang berhubungan dengan hukum, tetapi cukup adanya
pengetahuan di mana hadis- hukum yang dapat di jangkau bilamana diperlukan.
Menurut sebagian ulama misalnya Ibnu- Arabi (w.543 H), ahli tafsir dari
kalangan malikiyah, seperti dinukil wahbah az-zuyhaili, jumlah hadis sekitar
3000 hadis, sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin hambal bahwa hadis-hadis
hukum sekitar 1200 hadis.
3.
Mengetahui tentang mana ayat atau hadis yang telah
di-mansukh (telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rarul-nya), dan
mana ayat atau hadis yang me-nasakh atau sebagai penggantinya. Pengetahuan
seperti ini di perlukan, agar seorang mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari
ayat atau hadis yang sudah dinyatakan tidak lagi berlaku.
4.
Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang
sudah terjadi ijma’tentang hukum dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan
ini diperlukan agar seorang mujtashid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum
yang telah disepakati ulama.
E. TINGKATAN-TINGKATAN IJTIHAD
Abu Zahra membagi mujtahid
kepada beberapa tingkat, yaitu antara lain :
1.
Mujtahid Mustaqil (independen) yaitu tinkat
tertinggi, oleh Abu Zahra disebut juga dengan sebagai al-Mujtahid fil
al-Syar’I, atau disebut juga dengan Mujtahid Mutlaq.
2.
Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam
masalah Ushul Fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya,
namun tetap berpegang kepada Ushul Fiqh salah seorang mujtahid mustaqil,
seperti berpegang kepada Ushul Fiqh Abu Hanifah, akan tetapi, mereka bebas dalam
berijtihad, tanpa terikat dengan salah seorang mujtahid mustaqil.
3.
Mujtahid fil al-Mazhab, yaitu tingkat mujtahid
yangdalam Ushul Fiqh dan furu’ bertaklid kepada imam mujtahid karena mereka
mereka berijtihad meng-istinbat-kan hukum pada permasalahan yang tidak
ditemukan dalam buku-buku mazhab imam mujtahid yang menjadi panutannya.meraka
tidak lagi melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang telah ditegaskan
hukumnya dalam buku-buku fikih mazhabnya.
4.
Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang
kegiatannya buka meng-istinbat-kan hukum tetapi terbatas memperbandingkan
berbagai mazhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau
memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang ada, dengan
menggunakan metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya.
Dengan metode itu, ia sanggup melaporkan dimana kelemahan dalil yang dipakai
dan diman keunggulannya.
BAB III
PENUTUP
Demikian uraian makalah dari
kami tentang ijtihad, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, saran dan kritik
senantiasa kita harapkan demi perbaikan makalah ini. terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
3.
Prof.DR.Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2,
Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999
4.
Prof.M. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus,
Jakarta, 1994